Jabar Tergetkan Selesaikan Permasalahan Lahan Kritis Dalam 10 Tahun
Kepala Dinas Kehutanan Jabar, Budi Susatijo mengatakan, daerah yang memiliki lahan kritis paling luas adalah Kabupaten Cianjur sebesar 63.377,66 Ha kemudian diikuti Kabupaten Garut sebesar 57.929,47 Ha.
"Kami menargetkan, rehabilitisi lahan kritis ini bisa tuntas 10 tahun," ujarnya kepada wartawan di acara Rapat Koordinasi Rehabilitasi Hutan dan Lahan di Gedung Sate, Kamis (23/4/2015).
Untuk merehabilitasi lahan kritis tersebut, pihaknya melakukan program Pengendalian dan Rehabilitasi Lahan Kritis (PRLK) yang merupakan bagian dari sistem pengelolaan lahan, yang ditempatkan pada kerangka Daerah Aliran Sungai (DAS).
Pemerintah provinsi Jawa Barat berupaya mengurangi luas lahan kritis yang tercatat mencapai 324.966,28 hektare, dengan rincian lahan sangat kritis 40.952,15 Ha dan kritis 302.014,13 Ha.
Untuk mengurangi lahan kritis tersebut Pemprov akan mendapat dukungan dari pemerintah pusat melalui program quick wins.
Program ini bertujuan untuk memulihkan sumberdaya lahan yang rusak agar kembali optimal memberikan manfaat kepasa seluruh stakeholder, menjamin keseimbangan lingkungan dan tata air DAS, serta mendukung kelangsungan kehidupan masyarakat.
Untuk membiayai program ini, Pemprov Jabar telah menganggarkan dalam APBD dan bantuan dari pemerintah pusat. Untuk merehabilitasi Citarum dan Ciliwung saja, pusat memberikan bantuan sebesar Rp105 miliar.
Namun, upaya rehabilitasi lahan kritis tidak bisa hanya mengandalkan dana pemerintah. Menurutnya perlu ada dukungan dari swasta dan masyarakat.
Menurut dia, upaya rehabilitasi lahan kritis kerap terhambat berbagai kendala. Satu di antaranya adalah kebiasaan masyarakat yang memanfaatkan lahan tanpa ada kegiatan konservasi.
DAS Citarum menjadi salah satu daerah yang paling parah. Pihaknya mencatat erosi Citarum mencapai 21,6 juta ton per tahun, sedangkan sedimentasi 8,4 juta ton per tahun.
Melihat kondisi tersebut, pihaknya akan melakukan program quick wins yakni rehabilitasi hutan dan lahan DAS. Selain di Citarum, program serupa akan dilakukan di Sungai Ciliwung dan Cisadane.
Dalam program ini terdapat pembangunan fisik seperti pembuatan Dam pengendalian khusus di Citarum sebanyak 2 unit, pembuatan Dam penahan sebanyak 225 unit dan pembuatan sumur resapan sebanyak 4.300 unit.
Kurangnya kepedulian masyarakat ini dianggap lumrah mengingat posisi mereka hanya sebagai buruh penggarap dari sang pemilik lahan.
"Pemilik lahannya entah di mana, jadi susah dihubungi," bebernya.
Sementara itu, Kepala Balai Pengelolaan DAS Citarum dan Ciliwung UPT Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dodi Susanto mengatakan, lahan kritis yang semakin luas menimbulkan daya dukung DAS menurun. Akibatnya terjadi banjir, tanah longsor, erosi, sedimentasi, dan kekeringan.
Pihaknya juga akan melakukan kegiatan agroforestry. Khusus untuk Citarum mencapai 6.100 Ha. "Kita fokus seluruhnya di bagian hulu sungai," bebernya.
Menurutnya, program pemberdayaan masyarakat menjadi kunci penting menangani lahan kritis. Pola pikir masyarakat perlu diubah melalui agroforestry.
"Kita lakukan pelatihan, masyarakat akan menjadi figur bahwa konservasi tanah di lahan sayuran tidak akan mengurangi produksi," pungkasnya.
Meski demikian, program ini punya tantangan berat mengingat masyarakat hanya berprofesi sebagai petani penggarap. Karena itu dibutuhkan semacam surat kuasa dari pemilik kepada para penggarap.
Selain itu, tantangan lainnya adalah masyarakat kerap menganggap sistem terasering akan berdampak butuk pada tanaman sayuran. Padahal, sistem ini tidak akan berdampak pada hasil produksi.
sumber: inilah
Comments
Post a Comment