Sungai Kini Yang Rusak Bahkan Oleh Para Penjaga Sungai


Berdasarkan survei yang dilakukan Ryllian di sejumlah wilayah huluan dan hiliran di Sumatera Selatan, pengrusakan terhadap sungai-sungai tersebut dilakukan oleh berbagai komunitas yang hidup di tepian sungai selama ratusan tahun. Pengrusakan itu mulai dari penambangan emas, penambangan batu, penambangan pasir, hingga merusak wilayah DAS [Daerah Aliran Sungai].

Selama ratusan tahun sungai membangun peradaban bahari di Nusantara [Indonesia]. Sungai melahirkan berbagai tradisi yang memaknai perjalanan sejarah sejumlah komunitas. Termasuk pula berbagai komunitas di Sumatera Selatan, baik di wilayah huluan maupun pesisir. Bagaimana posisi sungai bagi masyarakat Sumatera Selatan pada saat ini?

“Sungguh mencemaskan. Sungai tidak lagi mendapatkan penghargaan seperti di masa lalu. Sungai kini menjadi objek eksploitasi,” kata Ryllian Chandra Eka Viana, sejarawan dari Fisip UIN Raden Fatah Palembang dalam sebuah diskusi “Sungai dan Manusia Hari Ini” di kantor redaksi sebuah media di Palembang, Senin [25/07/2022].

“Sungai-sungai di Sumatera Selatan yang dulu dijaga, yang melahirkan sejarah kebesaran Kedatuan Sriwijaya hingga Kesultanan Palembang, kini dirusak para penjaganya,” kata Ryllian.

Penyebab perubahan sikap terhadap sungai ini, kata Ryllian, antara lain; pertama, lahan sebagai sumber ekonomi, baik pertanian, perkebunan dan perikanan, sudah habis dikuasai oleh perusahaan atau pengusaha. Sehingga, sungai menjadi sasaran sumber ekonomi bagi masyarakat.

“Populasi ikan hilang atau berkurang menyebabkan masyarakat beralih menjadikan sungai sebagai lokasi penambangan. Kondisi ini banyak terjadi di wilayah huluan di Sumatera Selatan, seperti di Sungai Lematang, Sungai Ogan, Sungai Komering, Sungai Rawas atau Sungai Rupit,” jelasnya.

Kedua, hilangnya berbagai pengetahuan yang menjaga atau melestarikan sungai. Hilangnya pengetahuan ini dikarenakan aktivitas sosial dan ekonomi berpindah ke wilayah daratan, yang dikembangkan pemerintahan Hindia Belanda sebelum berdirinya Negara Indonesia. Misalnya transportasi, yang sebelumnya di sungai berpindah ke daratan. Termasuk pula lokasi rumah. “Tidak heran banyak anak sungai ditimbun menjadi daratan sebagai lahan rumah atau lainnya.”

Ketiga, berbagai kebijakan pembangunan yang berorientasi ekonomi berbasis eksploitasi, turut mengubah cara pandang masyarakat atau komunitas. Mereka melihat bentang alam bukan lagi sebagai rumah yang harus dijaga sehingga berkelanjutan, tapi sebagai sumber ekonomi yang harus dieksploitasi.

Keempat, hilangnya pengetahuan menjaga sungai dan kebijakan pembangunan yang berorientasi eksploitasi. Pada akhirnya, membuat berbagai komunitas yang hidup di tepian sungai, menjadikan rumah dan kampungnya sebagai “persinggahan”, sehingga tidak butuh dijaga lingkungannya. Mereka berpikir, puncak kesuksesan yakni pindah ke wilayah daratan atau jauh dari sungai.

“Akibatnya, mereka menjadikan sungai sebagai bak sampah. Hal ini seperti terlihat di wilayah perkotaan seperti Palembang, serta wilayah pesisir seperti di Sungsang, Tulungselapan, Cengal, dan Mesuji,” paparnya.

Menggali tradisi

Conie Sema dari Teater Potlot, menyebutkan berbagai pengetahuan yang arif terhadap sungai tersebut, saat ini masih terjaga atau tersimpan dalam sejumlah tradisi yang hidup di masyarakat tepian sungai di Sumatera Selatan.

“Strateginya menghidupkan kembali berbagai tradisi terkait sungai,” katanya.

Misalnya sedekah sungai, lomba perahu, pasar terapung, kuliner, serta tradisi pembuatan rumah panggung dan perahu.

“Semua pihak harus mengapresiasi berbagai tradisi tersebut. Baik melalui berbagai karya ilmiah, seni, maupun reward dari pemerintah,” katanya.

Conie menilai, penyelamatan sungai di Sumatera Selatan merupakan tindakan yang harus dilakukan.

“Jika tidak dilakukan, maka kita dengan sadar telah menghancurkan sejarah peradaban bangsa ini. Sebab, peradaban bahari yang berkembang di Sumatera Selatan turut memaknai peradaban berbagai suku bangsa di Nusantara, terutama di masa Kedatuan Sriwijaya,” ujarnya.

Dampak yang menyelamatkan sejarah

Berubahnya sikap berbagai komunitas yang hidup di tepian sungai, kata Ryllian, merupakan puncak dari kerusakan lingkungan di Sumatera Selatan. “Puncak kerusakannya bukan sebatas hilangnya kekayaan flora dan fauna, berubahnya bentang alam, juga mengubah pola pikir manusianya.”

“Sejarah Sumatera Selatan tidak dapat lagi ditulis sebagai sejarah bahari. Sebab pola pikir manusianya sudah berubah,” tuturnya.

Dengan realitas tersebut, lanjutnya, mengembalikan sikap arif terhadap sungai bukan hanya mengandalkan perubahan kebijakan pembangunan yang lebih melestarikan lingkungan. Tetapi juga, didorong oleh sejarah sebagai dampak negatifnya.

“Artinya, kesadaran itu akan kembali setelah berbagai komunitas yang hidup di tepian sungai merasakan bagaimana bencana hidrometrologi seperti banjir dan longsor, merugikan materi dan keselamatan mereka,” katanya.

Selanjutnya, maraknya berbagai penyakit mematikan di berbagai komunitas tersebut, sebagai akibat limbah dan sampah beracun yang memenuhi ratusan sungai.

“Sejarah kesedihan dan penderitaan yang mungkin mengembalikan kearifan terhadap sungai di Sumatera Selatan,” ujarnya.

Masih ada obatnya

Yulion Zalpa, peneliti politik sumber daya alam, mengatakan masih banyak komunitas atau kelompok masyarakat hidup di tepian sungai di Sumatera Selatan, yang terus menjaga berbagai pengetahuan untuk melestarikan sungai.

“Buktinya, masih bertahannya berbagai rumah panggung di tepian atau di sekitar sungai. Rumah panggung ini menunjukan bahwa bermukim di tepian sungai tidak harus mengubah lanskap sungai. Manusia harus beradaptasi, caranya menetap di rumah panggung. Mereka juga mempertahankan keberadaan perahu,” katanya.

Selanjutnya, masih ada masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari mencari ikan di sungai, termasuk pula mengembangkan pertanian yang sumber airnya dari sungai.

“Kelompok atau komunitas ini sangat arif memperlakukan sungai. Mereka pun tidak takut dilanda banjir, sebab rumahnya panggung, serta tetap dapat beraktivitas dikarenakan adanya perahu,” jelas Yulion.

Persoalannya, kata dia, berbagai pengetahuan ini tidak digali, tidak disebarkan, dan tidak menjadi nilai dasar dari sejumlah kebijakan pembangunan. “Pengetahuan ini dibiarkan mati atau hilang,” katanya.

“Kita wajib menggali dan menyebarkannya. Saya tidak ingin, sejarah kesedihan dan penderitaan yang mengembalikan kearifan terhadap sungai. Penggalian dan penyebaran pengetahuan ini dilakukan bukan hanya pemerintah, juga akademisi, pekerja budaya, tokoh masyarakat, serta pegiat lingkungan,” ujarnya. [mongabay]


Comments

Popular posts from this blog

Tipe Hutan yang Paling Besar Menyimpan Karbon

43 Juta Ha Lahan Hutan Tumpang Tindih dengan Tambang hingga Sawit

Berikut Upaya Dishut Sultra Untuk Pulihkan Daerah Aliran Sungai