Penjelasan Prof. Hariadi Terkait KHDPK
Guru Besar Kebijakan Kehutanan IPB, Hariadi Kartodihardjo menegaskan, kebijakan KHDPK atau Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus, dipilih sebagai strategi memulihkan hutan di Jawa.
Pemerintah memutuskan untuk mengelola secara khusus hutan di Pulau Jawa melalui Penetapan Kawasan Hutan Dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK), diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23/2021, sebagaimana Pasal 112 (1).
Kemudian, KHDPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) huruf b ditetapkan untuk kepentingan Perhutanan Sosial; Penataan Kawasan Hutan dalam rangka Pengukuhan Kawasan Hutan; Penggunaan Kawasan Hutan; Rehabilitasi Hutan; Perlindungan Hutan; atau Pemanfaatan Jasa Lingkungan.
Selain itu, kebijakan ini juga dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang kehidupannya sangat tergantung pada kawasan hutan. Untuk itu, kawasan hutan yang dikelola KHDPK semestinya dipilih dari kawasan hutan yang selama ini menjadi ruang konflik, tidak produktif, berupa lahan kritis, ataupun secara de facto telah berubah peruntukannya bukan sebagai hutan.
Baca juga : Dampak KHDPK Bagi Petani dan Masyarakat
KHDPK di Pulau Jawa sudah menetapkan arahan kawasan hutan yang dikelolanya yaitu seluas 1,1 juta hektar. Dalam regulasinya, wilayah yang menjadi KHDPK itu yaitu sebagian kawasan hutan negara yang berfungsi sebagai hutan produksi dan hutan lindung. Wilayah itu berasal dari wilayah Perum Perhutani, baik di Provinsi Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, maupun Banten.
“Dengan begitu, di Jawa akan terdapat dua unit pengelolaan di hutan produksi maupun hutan lindung, baik yang dikelola oleh Perhutani maupun yang dikelola oleh Pemerintah secara langsung,” ujar Prof. Hariadi menjawab pertanyaan pers, Senin (25/7/2022) terkait mencuatnya permasalahan KHDPK.
Menurut Prof. Hariadi, sampai di titik ini, tentu ada asumsi bahwa Perhutani dapat mengubah dirinya sehingga berkapasitas menjadi pengelola hutan secara profesional. Sementara, Pemerintah juga mempunyai kapasitas kelembagaan di lapangan dengan kemampuan melebihi kapasitas Perhutani di masa lalu.
Dari statistik KLHK (2020) kawasan hutan negara di Jawa seluas 3,04 juta hektar. Dari luas ini, Perhutani mengelolanya seluas 2,43 juta hektar. Namun, sejauh ini—sebagaimana argumen kebijakan KHDPK itu—Perhutani di masa lalu belum mampu mengatasi luasnya kawasan hutan tidak produktif itu. Tegakan berdiri di hutan (standing stock) yang pernah diukur, baik untuk jenis kayu jati maupun kayu rimba di Perhutani, juga menurun sebanyak 3,87 juta meter kubik selama periode 2015 hingga 2019.
Baca juga : Inventarisasi Hutan
Selain itu, dalam pelaksanaan transformasi perlu memperhatikan sifat khas hutan, bahwa hutan tidak dapat diinterpretasikan hanya berupa fenomena fisik yang mudah dipisah satu bagian dengan bagian lainnya. Hal itu karena hutan dengan ruang sosial, politik dan ekologisnya mengandung “hukum besi”. Yaitu, penjaga utama fungsi lingkungan hidup dalam wilayah ekologisnya, yang mana sejauh ini belum tergantikan oleh teknologi apapun.
Untuk itu, tandas Prof. Hariadi, dalam mengelola hutan di pulau Jawa juga mempunyai inti, pentingnya perhatian terhadap fungsi lingkungan hidup. Dalam hal ini, untuk pelaksanaan kebijakan apapun, fungsi hutan di Jawa seharusnya ditambah dan bukan dikurangi.
Bila ditinjau dari aspek tatakelolanya, dari diskusi mengenai penanganan konflik kepentingan dalam lingkup BUMN pada Maret 2021, Direktorat Monitoring, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan beberapa kasus di Perhutani.
Saat itu, KPK mengidentifikasi terdapat persoalan yang mendesak untuk diselesaikan. Sejumlah persoalan tersebut antara lain indikasi kebocoran dalam penerimaan pendapatan dari kayu maupun getah, jual atau sewa lahan garapan kepada petani, pemilikan lahan garapan oleh oknum karyawan, oknum karyawan Perhutani sebagai pihak yang ikut kerjasama dengan Perhutani, serta adanya penguasaan aset perusahaan yang menguntungkan karyawan dan pihak tertentu.
“Indikasi demikian itu menunjukkan bahwa kebijakan transformasi Perhutani pasca KHDPK untuk menjadi, katakan “Perhutani Baru”, bukan hanya berhadapan dengan hal-hal teknis seperti perubahan luas hutan yang dikelola, tetapi juga berhadapan dengan kapasitas kepemimpinan serta dukungan kementerian, terutama Kementerian Badan Usaha Milik Negara dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, maupun pemerintah daerah untuk menyelesaikan persoalan tatakelola itu,” ujar Prof. Hariadi.
Persoalan tata kelola demikian itu diperkirakan juga dapat terjadi dalam pengelolaan KHDPK oleh pemerintah. Pelaksanaan perhutanan sosial, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi hutan, perlindungan hutan sejauh ini juga rentan terhadap penyalahgunaan wewenang ataupun dominasi pihak tertentu, terutama yang menguasai politik lokal maupun nasional.
“Ironinya, hal seperti ini seringkali tidak dapat menjadi alasan formal atas suatu kegagalan pelaksanaan kebijakan tertentu. Di sisi lain, situasi seperti itu memang sudah berada di luar repertoar standar pekerjaan suatu profesi atau pegawai negara,” kata Prof. Hariadi.
Apalagi korban bencana di Indonesia, menurut Badan Nasional Penaggulangan Bencana, terus meningkat dalam satu dekade terakhir. Selama tahun 2021, korban menderita dan mengungsi 7.630.692 orang, meninggal dunia 728 orang, hilang 87 orang dan luka-luka 14.915 orang. Dan semua itu terjadi sebagian besar di pulau Jawa.
sumber: okezone
Comments
Post a Comment