Tipe Hutan yang Paling Besar Menyimpan Karbon

Hutan yang tersebar di seluruh penjuru dunia serta ada di setiap negara memiliki jenisnya masing-masing. Jenis hutan yang ada tentu sesuai dengan kondisi alam negara tersebut. Seperti, hutan pada iklim tropis, iklim dingin, dataran rendah hingga daerah pegunungan, bahkan di pulau-pulau yang kecil.

Penyebaran hutan di seluruh dunia membentuk adanya kesepakatan, bahwa setiap negara di dunia wajib berperan serta dalam usaha penurunan emisi gas buang.

Hutan memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan di bumi. Hutan menutupi hampir sepertiga dari seluruh daratan di bumi serta menyediakan manfaat esensial bagi seluruh spesies. Udara yang kita hirup, air yang kita minum, semua berasal dari hutan. Saat ini, bumi sedang mengalami perubahan iklim (climate change) yang dapat mengancam kehidupan di bumi. World Bank memprediksi pada tahun 2030, efek perubahan iklim dapat membawa kemiskinan bagi 100 juta orang di dunia.

Ada berbagai tipe hutan, ada beragam jenis pohon. Tiap tipe dan jenis hutan mempengaruhi kemampuannya menyerap dan menyimpan karbon. Di masa krisis iklim penting memprioritaskan rehabilitasi tipe dan jenis hutan yang menyerap karbon paling banyak. Namun, di atas semua itu, kemampuan hutan menyerap karbon tergantung pada lingkungan dan perlakuannya.

Baca juga : Cabut Izin Jangan Jadi Akhir Penegakan Hukum Lingkungan

Hutan memiliki peran yang sangat penting bagi kehidupan di bumi. Hutan menutupi hampir sepertiga dari seluruh daratan di bumi serta menyediakan manfaat esensial bagi seluruh spesies. Udara yang kita hirup, air yang kita minum, semua berasal dari hutan. Saat ini, bumi sedang mengalami perubahan iklim (climate change) yang dapat mengancam kehidupan di bumi. World Bank memprediksi pada tahun 2030, efek perubahan iklim dapat membawa kemiskinan bagi 100 juta orang di dunia.

Hutan mangrove, kita tahu, menyerap dan menyimpan karbon paling besar dibanding ekosistem hutan jenis lain. Vox menyebut mangrove Indonesia sebagai ekosistem penyelamat bumi dari kehancuran akibat krisis iklim. Tapi, mangrove di satu daerah bisa lebih kecil penyerapannya dibanding jenis hutan lain. 

Faktor penentu penyerapan karbon adalah keanekaragaman hayati di sekelilingnya. Mangrove, meski mampu menyerap emisi karbon dalam jumlah besar, kemampuannya akan berkurang jika keanekaragaman hayatinya lebih tipis dibanding jenis hutan alam primer teresterial.

Baca juga : KLHK Perintahkan Tim Tertibkan Tambang dan Sawit dalam Hutan

Inventariasi hutan nasional atau national forest inventory (NFI) oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2015, yang mengukur serapan karbon hutan Indonesia 1996-2013, menunjukkan cadangan karbon untuk tiap tipe hutan di tujuh pulau besar Indonesia berbeda-beda. Hutan lahan kering di Sumatera menyerap dan menyimpan karbon lebih besar dibanding mangrove primer di Papua.

Di dunia kehutanan tipe hutan dibedakan dengan primer dan sekunder. Hutan primer artinya hutan alami yang belum mendapat sentuhan perilaku manusia. Karena itu jenis pohon di hutan primer biasanya berusia panjang. Dalam bahasa Inggris dikenal variasi namanya, seperti old-growth forest, ancient forest, virgin forest, primeval forest, frontier forest, atau ancient woodland.

Sebaliknya, hutan sekunder adalah jenis hutan yang terbentuk kembali setelah kerusakan, baik secara alamiah maupun aktivitas manusia seperti pembalakan, bencana alam, atau kebakaran. Hutan sekunder bisa kembali menjadi hutan primer, dalam arti ciri-cirinya pulih seperti sebelum rusak. Namun, proses pemulihannya butuh waktu lama. Pada satu jenis hutan sekunder baru bisa pulih menjadi hutan primer setelah 150-500 tahun.

Selain hutan primer dan sekunder, juga dikenal hutan alam dan hutan tanaman. Dalam pengelolaan hutan Indonesia, hutan alam mulai dieksploitasi pada awal 1960-an. Industri kehutanan menjadi industri paling bonafid di masa Orde Baru. Kayu menjadi komoditas paling menghasilkan devisa, mengalahkan minyak bumi dan gas.

Setelah Reformasi 1998, industri kayu meredup, seiring kesadaran akan dampaknya terhadap lingkungan. Pelbagai kebijakan hutan lestari gagal menjaga hutan Indonesia dari kerusakan. Bagaimana deforestasi menjadi dua mata pisau: hutan rusak melepas emisi karbon yang disimpannya, juga tak bisa lagi menyerap emisi yang dilepas oleh aktivitas lain.


Apalagi, seiring kemajuan dan perkembangan, pemakaian energi fosil kian naik. Minyak, bumi, dan batu bara menjadi komoditas baru untuk menggerakkan ekonomi. Hasilnya, emisi jauh lebih besar dibanding kemampuan hutan dan ekosistem bumi menyerapnya. Akibatnya, krisis iklim seperti sekarang: suhu bumi naik pelan-pelan akibat gas rumah kaca dari emisi karbon kian menebal di atmosfer.

Dalam NFI 2015, jumlah emisi karbon sejak 2009 terus naik seiring kenaikan laju deforestasi. Hingga 2014, emisi karbon yang terlepas dari aktivitas orang Indonesia masih lebih tinggi dibanding kemampuan ekosistem menyerapnya di tujuh pulau besar Indonesia. Pada 2012-2013, emisi karbon mencapai 800 juta ton setara CO2, sementara yang bisa diserap hanya 220 juta ton. Pada tahun itu, laju deforestasi mencapai 700.000 hektare per tahun.

Baca juga : Izin Usaha Pertambangan (IUP) Dicabut, Gugat ke PTUN

Maka menekan laju deforestasi hanya salah satu cara menekan emisi karbon. Rehabilitasi hutan dan lahan, pemulihan, restorasi, menjadi andalan program pembangunan rendah karbon dalam rencana jangka panjang pengendalian iklim 2030. Dalam nationally determined contribution atau kontribusi penurunan emisi karbon yang ditetapkan, dalam delapan tahun ke depan Indonesia hendak merestorasi hutan gambut dan mangrove seluas 2 juta hektare.


Sebab, gambut dan mangrove menjadi ekosistem paling banyak menyerap dan menyimpan karbon. Keduanya jenis lahan basah yang menghasilkan keragaman hayati tinggi, dibanding ekosistem hutan daratan.

Data NFI menunjukkan, rata-rata serapan karbon hutan mangrove di tujuh pulau besar sebanyak 199,01 ton per hektare, disusun hutan lahan kering primer sebesar 126,64 ton per hektare. Hutan mangrove Jawa adalah ekosistem paling besar menyerap dan menyimpan karbon, sebesar 393,62 ton per hektare.

Perhitungan penyerapan karbon di pelbagai tipe hutan ini, sekali lagi, sangat dinamis. Gangguan terhadapnya akan mempengaruhi kemampuan pelbagai tipe hutan ini dalam menyerap karbon. Kondisi lingkungan dan keragaman hayati di sekitarnya menjadi faktor lain. Serapan karbon berdasarkan jenis hutan akan tergantung pada cara kita memperlakukannya sebagai sumber daya alam penopang ekonomi.

sumber: forestdigest

Comments

Popular posts from this blog

43 Juta Ha Lahan Hutan Tumpang Tindih dengan Tambang hingga Sawit

Berikut Upaya Dishut Sultra Untuk Pulihkan Daerah Aliran Sungai