Cabut Izin Jangan Jadi Akhir Penegakan Hukum Lingkungan
Sedang ramai diberitakan tentang kebijakan pemerintah lakukan pencabutan IPPKH
Pencabutan ribuan izin tambang, kehutanan, izin pinjam pakai kawasan hutan sampai hak guna usaha perkebunan tak boleh membuat pemerintah berpuas diri dan jadi akhir penegakan hukum. Masih banyak langkah penegakan hukum lingkungan bisa dilakukan untuk keadilan pengelolaan sumber daya alam.
Bustar Maitar, Direktur Eksekutif Yayasan Ekosistem Nusantara Berkelanjutan (Econusa) saat menyebut, penyelesaian keterlanjuran penggunaan kawasan hutan harus diselesaikan terpisah. “Jangan sampai pencabutan izin ini jadi alasan inisiatif untuk tutupi persoalan lain,” katanya.
Terlebih, katanya, UU Cipta Kerja dinyatakan cacat bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi. Pemerintah pun diminta memperbaiki instrumen hukum ini terlebih dahulu sebelum implementasi.
Bustar juga meminta, pemerintah fokus pada evaluasi konsesi hak pengusahaan hutan (HPH), terutama di Papua dan Papua Barat. “Konsesi HPK ini tidak terlalu banyak yang jadi obyek evaluasi.”
Dalam pencabutan izin, Papua dan Papua Barat menduduki ranking pertama dan kedua secara luasan konsesi. Ada lebih 200.000 hektar izin HPH dicabut dari dua provinsi ini.
Laode Muhamad Syarif, Direktur Eksekutif Kemitraan, mengatakan, langkah pemerintah mencabut perizinan ini sebagai bentuk penegakan hukum administrasi.
“Kita apresiasi, tapi room for improvement itu masih sangat besar,” katanya, dalam Bincang Alam bertajuk “Meninjau Penegakan Hukum Lingkungan di Indonesia” pekan lalu.
Pada 6 Januari lalu, Presiden mengumumkan pencabutan ribuan izin jutaan hektar. Ada 2.078 izin perusahaan pertambangan, 192 izin kehutanan dan 36 HGU berbadan hukum.
Laode katakan, pencabutan izin ini tak setop sampai di situ. Berkaca dari pengalaman di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dia pernah melakukan penelitian tentang 10.000 ribu izin usaha pertambangan (IUP). Dari jumlah itu, hanya 2.000-an IUP memenuhi syarat atau clean and clear.
“Jadi, 80% itu tidak sesuai syarat atau tidak memiliki izin atau ilegal,” kata mantan pimpinan KPK ini.
Kondisi inilah, yang harusnya bisa diperbaiki pemerintah. Waktu itu, hanya sedikit penindakan atas temuan KPK ini. Dia pernah bertanya ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) soal penegakan hukum lingkungan ini.
“Mereka belum pernah sidik satu kasus pun.”
Untuk itu, dia mendorong pemerintah juga bekukan IUP tak clean and clear itu. Penyetopan ini, katanya, bisa sampai para pemegang izin memenuhi syarat atau membayar denda administrasi.
Dia bilang, banyak dari para pemegang izin tak memiliki dana reklamasi tetapi masih bisa beroperasi. Akibatnya, banyak pembiaran kewajiban reklamasi berujung pada lubang bekas tambang dan memakan korban jiwa.
Senada dengan Laode, Reynaldo Sembiring, Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) meminta, pemerintah tidak berhenti di pencabutan izin tetapi harus meminta pertanggungjawaban hukum pada perusahaan dengan izin dicabut itu.
Dia mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2022 tentang Pencabutan Izin Konsesi Kawasan Hutan. Di dalamnya, terdapat beberapa korporasi yang pernah dijatuhkan sanksi maupun digugat pemerintah, bahkan sudah mendapat keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Mereka harus membayar ganti rugi, pemulihan lingkungan dan tindakan lain sesuai dengan hukum berlaku. “Agenda meminta pertanggungjawaban hukum ini penting jadi agenda tindak lanjut pasca pencabutan izin,” kata Dodo, sapaan akrabnya.
Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan juga menyuarakan hal sama. Dia desak, pemutihan-pemutihan pemerintah terhadap perusahaan pelanggar aturan tidak membuat kewajiban hukum mereka juga luntur.
Satu contoh mekanisme pengenaan sanksi administratif keterlanjuran perkebunan sawit di dalam kawasan hutan. Ia sejalan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif di Bidang Kehutanan.
Peraturan ini merupakan turunan dari Pasal 110a dan 110b UU 18/2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan di dalam UU 11/2020 tentang Cipta Kerja.
“Jangan sampai putih juga kewajiban para pemegang izin yang dulu tidak menjalankan kewajibannya.”
Jangan ke oligarki
Dalam pidato saat pencabutan izin awal tahun ini, Presiden Joko Widodo menyebut terbuka kepada investor kredibel, memiliki rekam jejak dan reputasi baik, serta berkomitmen mensejahterakan rakyat dan menjaga kelestarian alam. Menurut Nadia, pernyataan ini justru jadi tanda tanya.
Dia bilang, banyak perusahaan berpengalaman di Indonesia merupakan oligarki, yang nyatanya membuat rakyat sengsara. Nadia khawatir, lahan dengan izin dicabut justru akan dikuasai para oligarki.
“Harus dijaga, harus ada standar pengamanan yang bisa pastikan siapa yang bisa masuk untuk dapat hak kelola pemanfaatan,” katanya.
Dia meminta, pemerintah menetapkan standar dan pengertian untuk mendefinisikan perusahaan dengan pengalaman dan track record baik. “Jangan balik ke oligarki.”
Kalau lahan-lahan dengan izin dicabut itu kembali ke oligarki, bukan tak mungkin masalah pengelolaan sumber daya alam akan muncul di tempat baru. Lebih-lebih, seringkali penegakan hukum melempem terhadap oligarki.
Laode katakan, penegakan hukum lingkungan merupakan hal yang kompleks. Kompleksitasnya sama dengan penegakan hukum tindak pidana korupsi.
“Pelakunya biasa itu orang-orang besar. People with capital, people with power,” katanya.
Selama ini, penegakan hukum cenderung mudah diungkap ketika pelaku orang biasa. Ia jadi kurang serius ketika aktor atau pelaku adalah perusahaan besar yang mempekerjakan orang atau perusahaan ini memiliki kekuatan besar di belakangnya.
Untuk mencegah lahan jutaan hektar dengan izin dicabut itu kembali ke korporasi besar dan menghasilkan masalah baru,
Bustar menyarankan, pemerintah mengembalikan hak kelola masyarakat. Salah satu hal yang bisa dilakukan pemerintah, katanya, dengan mengidentifikasi potensi ekonomi lokal masyarakat adat untuk dikembangkan lebih jauh.
Kalau pemerintah bisa melakukan itu, katanya, pemanfaatan sumber daya alam lebih luas bisa dirasakan masyarakat. “Misal, dengan komoditas lokal seperti sagu, keladi atau talas. Atau adakah potensi ekowisata yang sudah dilakukan masyarakat jadi kegiatan ekonomi bermanfaat?”
Comments
Post a Comment